Random Artikel

Memuat...

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Turning Point

On 22.38

Kisah Kapten Mitsuo Fuchida & Kanji Araki :
1.“Tora, Tora, Tora,” merupakan kata sandi yang sangat legendaris dalam Perang Dunia Kedua. Kata sandi ini disampaikan pada tanggal 7 Desember 1941oleh Kapten Mitsuo Fuchida, komandan kelompok pesawat tempur Angkatan Udara Jepang, sebagai tanda bahwa skuadron yang dipimpinnya telah berhasil melaksanakan tugas yaitu melakukan serangan mendadak terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor. Sementara pesawat pengebom yang ia kemudikan meninggalkan Pearl Harbor yang dalam keadaan luluh lantak, ia menyampaikan pesan rahasia ini melalui radio kepada pusat komando Skuadron Pertama Angkatan Udara Jepang yang berada di kapal induk Akagi. Seusai Perang Dunia Kedua Mitsuo Fuchida dihadapkan kepada pengadilan militer tentara Sekutu untuk memberikan kesaksian tentang kekejaman tentara Jepang terhadap para tahanan militer. Fuchidasendiri merasa bahwa kekejaman itu merupakan hal yang wajar di dalam suatu peperangan. Namun hatinya menjadi terusik ketika ia bertemu dengan Kazuo Kanegasaki, mantan ahli teknik pesawat tempurnya yang dikiranya sudah gugur dalam pertempuran di Midway. Kanegasaki yang baru saja dibebaskan dari tawanan perang tentara Amerika itu menceritakan perlakuan yang baik yang ia alami selama sebagai tawanan perang, antara lain oleh seorang pemudi Amerika yang kedua orang tuanya menjadi utusan Injil dan dibunuh oleh tentara Jepang di pulau Panay, Filipina. Kisah tentang pemudi yang memperlakukan para tawanan perang dengan penuh hormat itu sangat mengganggu hati Mitsuo Fuchida. Ia ingin mengetahui apa yang membuat pemudi tersebut bersedia memperlakukan tawanan perang yang notabene adalah tentara dari negara yang membunuh kedua orangtuanya dengan penuh kasih dan hormat. Pada musim gugur tahun 1948 sementara ia berjalan di halaman stasiun kereta api Shibuya di Tokyo seseorang memberinya sebuah pamflet berisi kesaksian hidup seorang anggota angkatan udara Amerika Serikat, Jacob DeShazer yang berjudul “Saya Pernah Menjadi Tawanan Jepang.” Di dalam pamflet tersebut DeShazer mengisahkan penderitaan dan siksaan yang ia alami selama menjadi tawanan tentara Jepang dan bagaimana Tuhan menguatkan dirinya serta memampukan dirinya untuk mengampuni para tentara Jepang yang telah menyiksa dirinya. Kisah ini membuat Fuchida semakin ingin mengenal kekristenan. Setengah tahun kemudian, yaitu di musim semi tahun 1949 kembali saat Fuchida berjalan di halaman stasiun kereta api Shibuya dirinya bertemu dengan seseorang yang sedang menjual Alkitab Perjanjian Baru. Ia membeli dan membaca kitab itu. Akibatnya iapun menjadi paham mengapa pemudi yang dikisahkan temannya, Kazuo Kanegasaki, bersedia mengampuni musuhnya. Hal ini mendorong dirinya untuk mengambil keputusan mejadi seorang pengikut Yesus. Dua tahun kemudian ia menyerahkan dirinya utnuk menjadi seorang pemberita Injil. Iapun menuliskan riwayat hidupnya di dalam sebuah buku yang diberi judul From Pearl Harbor to Golgotha, dari Pearl Harbor sampai kepada Golgota. Sampai akhir hayatnya di tahun 1976 Mitsuo Fuchida telah pergi ke berbagai penjuru dunia untuk mewartakan apa yang Tuhan sudah lakukan untuk mengubah kehidupannya. 2. Pada tanggal 6 Agustus 1945, seorang anak balita bernama Kanji Araki, sedang bermain di rumahnya seorang diri. Tiba-tiba kota tempat dia berada (Hiroshima) dijatuhi bom atom. Hembusan udara panas merobohkan bangunan dan membakar kota. Dalam ledakan itulah, nenek dan semua saudara Kanji meninggal dunia terkena radiasi. Ketika Kanji tumbuh semakin besar, ia mengalami konflik batin tentang orang-orang yang menderita dan meninggal dunia karena bom atom itu. Kedua orangtuanya adalah orang Kristen yang taat, namun Kanji memilih untuk tidak beragama. Ternyata pilihannya itu menciptakan ruang kosong dalam hatinya, dan semakin lama kekosongan itu bertambah besar. Suatu saat, ia mulai mempelajari Alkitab untuk mencari tahu siapakah Yesus Kristus yang sering disebut ibunya itu. Tak lama setelah itu, terjadilah titik balik dalam jiwanya, Kanji percaya dan menaruh iman kepada Kristus. Sejak itu, hatinya yang kosong kini dipenuhi iman, pengharapan, dan kasih Allah. Selanjutnya Allah menuntunnya untuk melayani. Dalam sebuah kegiatan pelayanan yang ia lakukan, ia mengutip dari 1 Korintus 6:20 dan berkata, "Saya sudah dihindarkan dari kematian supaya hidup, saya memiliki makna yang lebih tinggi untuk melayani Allah."
3 Kisah Lainnya:
1. Bill Wilson memiliki masa lalu yang kelam. Hidup miskin, orang tuanya bercerai, ibu yang alkoholik, ayah yang sakit-sakitan, dianiaya oleh teman-teman seusianya. Bill menjadi tak percaya diri dan suka menyendiri. Pada usia 14 tahun, ia ditinggal ibunya di trotoar, tapi seorang diaken sebuah gereja lokal menghampirinya. Diaken yang bernama Dave Rudenis itu memberi makan dan mendaftarkan Bill ke retret kaum muda. Di sana ia mengalami titik balik dalam kehidupannya. Remaja kurus dengan gigi menonjol, rahang cacat dan celana berlubang itu untuk pertama kalinya mendengar ada Tuhan yang mau mati bagi dia. Bill menyatakan bahwa masa depannya tak akan pernah sama lagi sejak malam itu. Bill kemudian dikenal sebagai pendiri Metro Ministries International di Brooklyn, New York. Organisasi pelayanan yang menjangkau lebih dari 22.000 anak setiap minggu! 2. Jika kita membayangkan Luther sebagai tokoh yang selalu teguh hati sejak muda, maka kita salah.Awalnya, Luther yakin bahwa dengan menjadi biarawan maka kegelisahannya tentang penghukuman Allah akan sirna. Sebelum masuk biara, Luther menganut ajaran via moderna yang sudah digemarinya sejak di Universitas Erfurt. Suatu modifikasi dari ajaran kuno Pelagius (rival Agustinus). Menurut via moderna, Allah akan memberikan anugerah kepada orang berdosa yang sungguh-sungguh mencari Dia. Seolah, Allah telah berjanji akan mengaruniakan anugerah pengampunan sejauh orang berdosa bisa mencapai syarat minimum yaitu datang kepada-Nya. Kemiripan dengan Pelagius terletak pada faktor inisiatif manusia, bahwa orang berdosa masih memegang inisiatif untuk pengampunan dosanya, dan Allah terikat dengan kewajiban untuk mengampuninya. Demikianlah, dengan diinspirasikan via moderna, Luther berusaha sekuat tenaga menjadi rahib yang saleh dan tekun. Dia pernah sesumbar, "Kalau ada rahib yang bisa masuk surga karena kesalehannya, pastilah aku!". Namun dalam hati kecilnya, Luther tetap gelisah dan takut akan penghukuman Allah. Pada tahun 1508, atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar bidang Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther mengajar sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther menamatkan sarjana teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Universitas yang sama. Sebelumnya, pada tahun 1510, Luther berkesempatan mengunjungi kota suci Vatikan. Awalnya, Luther begitu terpesona dengan pusat pemerintahan gereja tertinggi ini. Diceritakan, saat dia tiba di Roma, dia berlutut dan berteriak, "Aku menyapamu hai Roma yang suci, sucilah engkau karena darah martir yang tertumpah bagimu!". Luther berharap kunjungannya ke Roma meredakan kegelisahan hatinya, Namun setelah sekian hari dia melihat kota suci, dia berbalik kecewa dengan segala praktik kotor dan sikap keduniawian pejabat gereja. Pada perjalanan pulang, Luther melukiskan kekecewaannya, "Biarlah segala yang suci tidak pernah ke Roma. Karena di Roma segalanya diizinkan, kecuali orang jujur." Jabatan Luther sebagai pengajar diperluas pada tahun 1511. Luther ditugasi mengajar kitab-kitab spesifik. Dari kuliah-kuliah awal, tampak jelas Luther masih memegang posisi via moderna. Seiring dengan waktu, ketika Luther mempersiapkan kuliah kitab Roma (1515-1516), dia menemukan beberapa kesukaran besar dari pandangan via moderna. Konsep "iustita Dei" (Kebenaran Allah) begitu dominan dalam kitab Roma. Allah dengan kebenarannya yang sempurna akan mengadili setiap orang. Bagaimana bila orang berdosa sesungguhnya tidak akan pernah memenuhi standar keadilan Allah supaya dibenarkan, meskipun orang berdosa dengan tulus mencari-Nya? Pertanyaan ini benar-benar menghujam ke sanubari Luther. Pertanyaan ini bukanlah bersifat akademis belaka, namun memberikan dilema batin yang luar biasa. Kebenaran Allah hanya akan mendatangkan kutukan dan hukuman bagi orang berdosa, tanpa terkecuali dirinya. Luther menuliskan, "Meskipun aku hidup tidak bercela sebagai seorang rahib, namun aku yakin bahwa aku tetap orang yang berdosa dan hati nuraniku sangat gelisah di hadapan Allah. Aku tidak percaya segala perbuatanku dapat menyenangkan Allah." Pada suatu malam, sekitar akhir tahun 1514, dalam suatu penggalian Alkitab pribadi di menara biara Wittenberg, Luther terpaku pada tulisan Rasul Paulus dalam kitab Roma 1:16-17. Tulisan Paulus begitu menggetarkan hatinya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur dan memikirkannya. Setelah bergumul begitu berat dan dengan pertolongan Allah, Luther tiba pada suatu pencerahan. Diduga kuat, bacaan Luther dari tulisan Agustinus tentang doktrin anugerah turut mengambil andil dalam pengalaman eksistensial ini. "Orang benar akan hidup oleh iman", begitu adagium dari doktrin anugerah yang memberikan titik balik dari krisisnya. Luther mengingat ajaran Agustinus tentang "Anugerah" yang pernah dibacanya. Doktrin "Anugerah" yang pernah dituliskan Agustinus dalam buku "Pengakuan-pengakuan" (Confessions) adalah salah satu ajaran penting yang telah begitu lama dilupakan gereja. Sederhananya, doktrin ini meyakini bahwa tidak ada satupun manusia berdosa mampu menyelamatkan dirinya. Hanya Allah yang dapat mengampuni manusia dalam kedaulatan-Nya. Pengampunan inilah yang disebut anugerah, suatu rahmat yang sebenarnya tidak layak diberikan kepada kita. Bahkan iman pun adalah pemberian Allah, bukan usaha dan keputusan manusia. Pencerahan ini membuat Luther sadar akan kekeliruan besar dari ajaran via moderna dan ajaran gereja yang lain. Alkitab dan Agustinus telah "melahirkan" Luther kembali. Dan perubahan ini tidak sekedar pada dimensi rasional. Luther menyaksikan betapa segala kegelisahan hatinya lenyap, "Seperti ada tertulis bahwa orang benar hidup oleh imannya. Ini membuat aku seperti dilahirkan kembali. Kini aku seakan berdiri di depan pintu gerbang surga dalam suatu terang yang baru. Kalau dulu aku membenci ungkapan 'Kebenaran Allah', maka sekarang aku mulai mencintai dan memujinya sebagai ungkapan yang paling manis..." Luther pun mulai melihat seluruh isi kitab suci dengan sudut pandang yang baru. Di kemudian hari, doktrin "Pembenaran oleh Iman" menjadi dasar dari seluruh bangunan teologi Luther. Peristiwa pemakuan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg sebenarnya konsekuensi dari pandangan Luther yang telah diperbaharui beberapa tahun sebelumnya. Allah mengubah pergumulan Luther yang pelik itu menjadi semacam "Reformasi" dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum dia memimpin gerakan Reformasi yang lebih besar dan berat. 3. Titik balik ini juga dirasakan Rasul Paulus, ia "diselamatkan" Allah agar dapat melayani-Nya.Demikianlah kesaksiannya:"Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karuniaNya (Galatia1:15).Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihaniNya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu diluar iman(1 Timotius 1:13). "Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu" (Kolose 1:25). Turning point lengkapnya dapat dibaca dalam Kisah Para Rasul 9:1-30, 26:12-23.Sekarang, bagaimana dengan Anda, apakah titik balik hidup Anda di tahun ini? Pastikan Anda mengalaminya!
Sukses selalu... Photobucket

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

“Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya. Sudi kiranya berkomentar lagi di posting saya berikutnya” – Salam > Bersediabelajar.